Saturday, August 22, 2020

Kasus Pelanggaran Ham Yang Pernah Terjadi Di Indonesia


Hak Asasi Manusia, atau seringkali disingkat selaku HAM merupakan suatu konsepsi bahwa manusia berhak mendapatkan perlakukan yang adil dan setara. Akan namun, masih banyak pelanggaran HAM yang belum tuntas di Indonesia.





Kasus-masalah HAM yang pernah terjadi di Indonesia memiliki latar belakang yang berlainan antara yang satu dengan yang lain. Padahal tiap tahunnya diperingati Hari HAM selaku pengingat untuk menegakkan semua pelanggaran HAM yang terjadi pada perkara-masalah tersebut, khususnya pada perkara yang belum segera tuntas.





Di Indonesia sendiri, ketua Komnas HAM menyatakan memang terdapat beberapa berkas yang masih tertahan terkait masalah pelanggaran HAM. Kasus tersebut juga cukup beraneka ragam tahunnya, khususnya perkara usang yang terus ditumpuk tiap masing-masing masa.





Berikut ialah beberapa kasus HAM yang masih belum teratasi Indonesia, bahkan sampai sekarang. Sebab Komnas HAM hanya dapat melaksanakan kewajibannya pada tahap pengusutan, sedangkan tahap lanjutan merupakan hak dari Jaksa Agung.






Pembunuhan Munir





Pembunuhan Munir merupakan salah satu kasus HAM di Indonesia yang belum diusut tuntas




Munir Said Thalib yaitu seorang pelopor HAM yang banyak bersuara pada zaman Orde Baru. Ia sudah banyak melaksanakan pembelaan hukum pada orang-orang tertindas.





Salah satunya adalah menjadi pembela keluarga korban penculikan paksa yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998. Bahkan, Munir menjadi salah satu anggota KONTRAS pada masa itu, suatu komisi yang mengadvokasikan orang-orang yang hilang, diculik, atau dihilangkan.





Selain sebagai advokat bagi para korban penculikan dan penghilangan paksa, Munir juga merupakan sosok pengkritik pemerintah orde gres yang dianggap banyak melakukan penyelewengan.





Pada ketika itu, mengkritik pemerintahan ialah sebuah tindakan yang sangat berbahaya. Kebebasan berpendapat belum sebaik sekarang, ditambah lagi tendensi negara untuk menyerang balik pengkritiknya.





Benar saja, pada tahun 2004, Munir ditemukan tewas dalam pesawat yang sedang melayang menuju Amsterdam.





Hasil autopsi yang dijalankan oleh tim forensik Belanda memperoleh adanya senyawa arsenik dalam jasad Munir. Kuat praduga bahwa pelopor HAM ini sengaja diracun oleh pihak-pihak tertentu alasannya tak mauberhenti mengkritik mereka.





Selain sebab ialah pembungkaman dan penghilangan hak bersuara, perkara Munir ini juga merupakan penghilangan nyawa secara paksa, sehingga dapat dikategorikan sebagai salah satu pelanggaran HAM yang cukup menyeramkan.





Kasus Munir membuat banyak pencetus menjadi was was dan lebih berhati-hati akan keamanan mereka ketika mengkritik pemerintah atau orang-orang di posisi kuasa lainnya.





 



Pembunuhan Massal tahun 1965





Pembantaian setelah G30S PKI Merupakan salah satu pembantaian massal terparah di Indonesia




Peristiwa berdarah G30SPKI memang selsai dengan sejumlah tanda tanya dan mendapatkan sorotan dari aneka macam pihak. Pada tahun 2012, pengusutan yang dikerjakan oleh Komnas HAM ternyata memperoleh pelanggaran HAM yang cukup berat seusai kejadian tersebut.





Korban dari kejadian ini ialah anggota PKI, serta beberapa organisais masyarakat lain yang satu jalan dengan mereka. Bahkan, banyak penduduk sipil yang tidak sengaja dibunuh juga alasannya adalah dianggap sebagai anggota PKI meskipun bukan.





Pelanggaran HAM tersebut berupa penganiayaan, perbudakan, pembunuhan massal, penghilangan paksa nyawa seseorang dan pelecehan seksual.





Setelah ditemukan oleh Komnas HAM dan mendapatkan perhatian dari Kejaksaan Agung, sampai sekarang masalah ini tengah di proses. Terakhir, jumlah korban yang diperkirakan dibunuh dan meninggal pada pembunuhan massal di tahun 1965 tersebut meraih nyaris 1,5 juta orang, bahkan kemungkinannya mampu lebih besar.





Meskipun begitu, perkara ini sungguh mempolarisasi masyarakat Indonesia, di satu sisi, masyarakat Indonesia banyak sekali yang tidak senang PKI, tetapi, di lain sisi, kekejaman Tentara Nasional Indonesia dan oknum lainnya dalam menumpas balik PKI juga patut dipertanyakan. Terlebih lagi dikala banyak penduduk sipil yang menjadi korban dari tindakan serangan balik ini.





 



Peristiwa Tanjung Priok 1984





Peristiwa tanjung priok merupakan salah satu kasus HAM pada tahun 1980an




Peristiwa Tanjung Priok ialah salah satu kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa ini diawali dengan kedatangan anggota bintara ke Masjid As Saadah yang berlokasi di Tanjung Priok.





Bintara tersebut menyuruh pengelola masjid untuk menurunkan spanduk-spanduk yang berbau kritik terhadap pemerintahan saat itu, Orde Baru. Mendengar usul ini, pihak masjid menolak untuk melepasnya alasannya memang telah prinsip dan keleluasaan mereka untuk berpendapat.





Tidak terima, anggota bintara yang ada melepas paksa spanduk-spanduk yang ada di masjid tersebut. Sayangnya, mereka lalai dan tidak melepaskan bantalan kaki apalagi dahulu, padahal ada batas suci dimana mereka harus melepaskan ganjal kakinya.





Hal ini menyulut kemarahan para pengurus masjid dan warga sekitar karena sangat tidak sopan. Akhirnya, mereka memperabukan motor dan memukuli para bintara yang masuk tanpa izin dan tanpa melepas bantalan kakinya.





Menyikapi hal ini, pengurus masjid dan warga sekitar yang ikut dalam penyerangan tersebut ditangkapi dan dijebloskan dalam penjara. Dua hari kemudian, warga muslim Tanjung Priok melaksanakan demonstrasi untuk mendukung dan meminta kebebasan sobat-sahabat mereka.





Situasi makin memanas alasannya pihak militer tidak menggubris permintaan mereka. Akhirnya, terjadi kericuhan dimana pihak militer menembaki para demonstran untuk membubarkan mereka.





Berdasarkan hitungan resmi, insiden ini mengakibatkan 24 orang tewas serta 54 orang terluka. Akan namun, berdasarkan asumsi, ada lebih dari lebih dari 100 warga Tanjung Priok yang tewas, hilang, ataupun terluka pada saat demonstrasi tersebut.





 



Tragedi Semanggi dan Kerusuhan Mei 1998 (Trisakti)





Tragedi Semanggi dan Trisakti merupakan salah satu kasus HAM saat masa orde baru




Pada kala orde gres, pada 13 hingga 15 Mei terjadi kerusuhan yang cukup besar hampir di seluruh tanah air. Awal kerusuhan ini kemungkinan dipicu oleh kekecewaan masyarakat kepada krisis finansial dan ekonomi yang sedang melanda Asia, atau dikenal sebagai krisis moneter (krismon).





Ketegangan di penduduk menjadi semakin tinggi dan kondisi makin memburuk setelah empat mahasiswa Trisaskti tewas ketika melakukan unjuk rasa di tanggal 12 Mei.





Beberapa fakta dari peristiwa tersebut, terangkum dalam beberapa poin berikut ini, diantaranya yakni:





  • Kerusuhan menyebar di seluruh tanah air, dan puncaknya berada di Jakarta sebagai ibu kota negara.
  • Terjadi mis-komunikasi dan salah persepsi antar instansi pengadilan negara, baik antara DPR, Komnas HAM, dan Kejaksaan Agung.
  • Kejaksaan Agung menyampaikan bahwa masalah ini mampu ditindak lanjuti bila menerima anjuran dari dewan perwakilan rakyat ke Presiden, namun sampai kini belum menerima nasehat, jadi dikembalikan ke Komnas HAM.
  • Beberapa tahun kemudian, Kejaksaan Agung beralasan bahwa DPR tidak ingin memberikan usulan sebab tidak ditemukan adanya pelanggaran HAM berat di dalamnya. Sedangkan alasan lainnya, Kejaksaan Agung menganggap bahwa masalah ini telah akhir di Pengadilan Militer tahun 1999.




Terlepas dari semua fakta tersebut, hingga saat ini perkara Trisakti dan Peristiwa Semanggi belum mendapatkan titik temu dan solusi yang jelas. Lembaga negara juga terkesan lambat dalam mengambil langkah-langkah solusi.





Masih banyak pula unsur-bagian mahasiswa yang mendorong pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dan memberikan transparansi sejelas-jelasnya.





 



Kasus Marsinah





Marsinah merupakan aktivis buruh yang dihilangkan dan dibunuh




Marsinah yaitu seorang buruh pabrik yang tinggal di Jawa Timur. Beliau juga ialah seorang penggagas yang cukup terkenal pada zaman Orde Baru.





Pada tahun 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang berisi supaya perusahaan di Jawa Timur menaikkan upah buruh sebesar 20% dari honor pokok. Hal ini bermaksud untuk mengembangkan taraf hidup para buruh dan meminimalkan angka kemiskinan.





Akan namun PT kawasan Marsinah bekerja, PT Catur Putra Surya, tidak terlalu oke dengan himbauan ini. Mereka menolak himbauan ini alasannya akan mengembangkan beban operasional pabrik dan mengurangi margin keuntungan.





Akibatnya, Marsinah dan kawan-kawannya mogok kerja dan melakukan demonstrasi pada tanggal 3 dan 4 Mei 1993. Selain berunjuk rasa, Marsinah beserta 13 perwakilan buruh juga melakukan diskusi diplomatis dengan pihak pabrik.





Mereka berharap bahwa pihak perusahaan akan mampu untuk menyaksikan faedah dari mengoptimalkan upah buruh. Sayangnya, diskusi berjalan alot dan tidak mampu membuahkan hasil.





Pada tanggal 5 Mei, siang harinya, 13 sahabat Marsinah ditangkap Kodim Sidoarjo sebab tuduhan menghasut para buruh biar tidak masuk kerja dan menyelenggarakan rapat gelap.





Mereka dipaksa untuk mengundurkan diri dan berhenti melaksanakan agresi-agresi melawan perusahaan. Marsinah lalu datang ke Kodim untuk menanyakan keadaan rekan-rekannya.





Malamnya, Marsinah menghilang tanpa kabar, teman-temannya bahkan tidak ada yang tahu keberadaannya. Selama tiga hari tiga malam, sahabat-sahabat Marsinah mencarinya, namun tidak berhasil ditemukan.





Marsinah gres ditemukan pada tanggal 8 Mei 1993 dalam kondisi sudah meninggal. Berdasarkan hasil otopsi, Marsinah mengalami penyiksaan yang berat sebelum menghela nafas terakhirnya.





 



Pelanggaran HAM di Aceh





Aksi represi dan pembantaian GAM di Aceh merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia




Pada tahun 1990 sampai 1998 terjadi kerusuhan dan pemberontakan rakyat Aceh. Salah satu penyebabnya ialah karena mereka tidak puas dengan pemerintahan dikala itu sehingga lebih menentukan untuk memisahkan diri.





Untuk menyingkir dari hal-hal yang tidak diinginkan, pemerintah Indonesia mengadakan operasi militer untuk mendamaikan kawasan Aceh. Sayangnya, operasi militer yang seharusnya mendamaikan ini justru menjadi bukti kebrutalan TNI saat itu dalam menumpas pemberontak.





Akibat dari operasi militer ini, ada beberapa kasus pelanggaran HAM yang terjadi. Operasi ini tidak hanya menewaskan pemberontak namun juga warga sipil yang kerap berada di daerah yang salah, atau diduga sebagai pemberontak.





Banyak warga Aceh yang meninggal akhir operasi yang berlangsung selama 8 tahun ini. Menurut catatan, ada sekitar 9 ribu hingga 12 ribu korban jiwa yang jatuh.





Oleh alasannya adalah itu, masalah penertiban dan penumpasan pemberontakan Aceh ialah salah satu kasus pelanggaran hak asasi insan yang cukup parah di Indonesia.





 



Tragedi Wamena





Tragedi wamena di Papua merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia




Tragedi pelanggaran HAM juga pernah terjadi di Papua, yang sering disebut sebagai peristiwa Wamena. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 2003 pada awal bulan April, dan berjalan pada dini hari.





Awalnya kejadian tersebut dimulai dengan pembobolan gudang senjata markas Kodim Wamena, dimana penyerang menenteng lari amunisi dan senjata api. Pada penyerangan tersebut, dua anggota Kodim tercatat meninggal dunia, yaitu Letnan Satu Tentara Nasional Indonesia AD Napitulu, dan prajurit Ruben Kana, yang merupakan serdadu penjaga gudang senjata.





Untuk menyisir pelaku pembunuhan tersebut, abdnegara TNI-Polisi Republik Indonesia melakukan penangkapan dan penyiksaan pada penduduk lokal. Sayangnya, Tentara Nasional Indonesia dan Polri melakukan penyisiran ini dengan cukup brutal kepada penduduk sekitar.





Banyak korban jiwa berjatuhan karena peristiwa ini, mulai dari perampasan paksa yang menimbulkan korban jiwa, dan pengungsian penduduk secara paksa untuk mendapatkan pelaku yang masih lari.





Pada pemindahan paksa tersebut, disebutkan bahwa 42 orang meninggal sebab kelaparan, sedangkan 15 yang lain menjadi korban perampasan.





Komnas HAM yang menyelidiki kasus ini memperoleh berbagai tanda bahwa terdapat pemaksaan tanda tangan surat pernyataan, berikut juga perusakan fasilitas umum. Bahkan di pihak Kejaksaan Agung sendiri, perkara ini masih belum ada perkembangan sebab tarik ulur antara mengembangkan instansi hukum.





Tragedi Wamena ini muncul lagi ke permukaan dan santer diberitakan setelah tragedi mahasiswa Papua yang didiskriminasi oleh polisi gres-gres ini. Oleh sebab itu, pemerintah dan forum-forum HAM kembali disorot untuk menyelesaikan masalah ini.





 



Peristiwa Talangsari di Lampung





Peristiwa talangsari di Lampung merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di Indonesia




Pada tahun 1989 terjadi peristiwa yang ialah pelanggaran HAM berat di Lampung, Sumatera. Di bulan Maret tahun 2005, Komnas HAM berkomitmen untuk melakukan pengusutan pada kejadian Talangsari yang terjadi di tempat tersebut.





Dua bulan setelahnya, Komnas HAM menyatakan terdapat beberapa bagian pelanggaran HAM berat pada peristiwa tersebut dan menenteng berkas penyelidikan ke Kejaksaan Agung. Berkas tersebut masuk ke daftar kasus pelanggaran HAM di tahun 2006, tetapi hingga sekarang perkara tersebut belum mendapatkan titik temu.

Beberapa fakta tentang peristiwa tersebut antar lain:





  • Tercatat penyerangan dipimpin oleh Kolonel Hendropriyono, yang merupakan pimpinan Danrem Garuda Hitam nomor 043.
  • Penyerbuan dan penyerangan tersebut kemungkinan karena hendak menghentikan acara yang dikerjakan oleh Jamaah pengajian di Talangsari. Pasalnya terdapat berita mereka hendak mengganti Pancasila menjadi Al-Quran dan Hadist, yang saat itu di pimpin oleh Warsidi selaku pemimpin pengajian.
  • Akan namun banyak jama’ah yang malah dinyatakan menghilang, perkampungan yang dibumi hanguskan dan masih ditutup sampai saat ini.




Peristiwa ini terjadi karena ada isu bahwa terdapat jemaat islam yang akan makar dari pemerintah. Saat itu, pemerintah memang sangat represif dengan desain tunggal pancasilanya, walaupun begitu, informasi ini belum mampu diverifikasi.





Oleh alasannya adalah itu, camat, kepala dusun, beserta kapten dan komandan polisi lokal hendak mendatangi golongan ini dan meminta informasi. Sayangnya, kehadiran rombongan besar ini dianggap sebagai langkah-langkah penyerangan oleh pemerintah, sehingga dihujani panah oleh jamaah tersebut.





Menyikapi hal ini, keesokan harinya, TNI dan polisi mengepung dan menyerang kelompok ini dengan sekitar 3 pleton prajurit dan 40 anggota brimob. Tercatat terdapat ratusan masyarakat sipil yang dibantai dalam penyerangan ini dan banyak lagi yang terluka.





 



Pembantaian Rawagede





Pembantaian rawagede oleh militer belanda merupakan salah satu kasus HAM di Indonesia




Pada aksi militer Belanda yang pertama, tepatnya pada tanggal 9 Desember 1947, terjadi pembantaian di kampung Rawagede yang dijalankan oleh militer Belanda.





Pembantaian ini terjadi alasannya adalah banyak masyarakat sipil yang mengungsi ke rawagede saat Belanda menyerang Bekasi dan Karawang. Belanda menerka bahwa dari masyarakat sipil yang mengungsi tersebut, terdapat komponen-bagian tentara Indonesia yang membaur dengan masyarakat.





Oleh alasannya adalah itu, militer Belanda tanpa pikir panjang langsung menyisir dan mengamankan masyarakat yang mengungsi ke Rawagede. Dalam penjagaan dan penyisiran ini, banyak penduduk sipil yang dibunuh tanpa argumentasi terperinci.





Pembantaian Rawagede ini menewaskan sekitar 431 penduduk. Setahun lalu, Belanda kembali menyerang kampung ini tanpa alasan. Sebanyak 35 warga Rawagede tewas balasan serangan ini.





Pengadilan HAM Internasional baru memproses perkara ini berpuluh-puluh tahun lalu, setelah Indonesia merdeka dan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.





Pada September 2011, pengadilan memutuskan bahwa pemerintah Belanda bersalah dan mesti bertanggung jawab serta menawarkan kompensasi kepada keluarga korban pembantaian ini.





 



Penembakan Misterius tahun 1982 hingga 1985 (PETRUS)





Salah satu kasus HAM pada masa orde baru adalah adanya penembakan misterius yang membunuh orang yang dianggap kriminal




Petrus, atau lebih sering diketahui sebagai penembakan misterius ialah serangkaian pembunuhan yang dilaksanakan pada era pemerintahan presiden Soeharto.





Memiliki nama lain selaku Operasi Clurit, alasan pembunuhan tersebut dikarenakan untuk mengatasi tingkat kejahatan yang saat itu cukup tinggi. Namun, banyak yang berpendapat bahwa operasi ini juga bermaksud untuk membungkam lawan-musuh politik Soeharto.





Operasi ini melingkupi kegiatan penangkapan dan pembunuhan, terutama untuk masyarakat yang mengganggu ketertiban umum. Pusat penembakan misterius ini terjadi di Jawa Tengah dan Jakarta, dengan pelaku yang sampai kini tidak dikenali siapa. Bahkan hingga sekarang pelaku tidak ditemukan dan tak pernah diadili.





Berdasarkan data yang di himpun oleh Komnas HAM, ratusan orang telah terbunuh dalam peristiwa berdarah selama empat tahun ini, dengan rincian:





  • Di tahun 1983, terdapat 532 orang yang tewas terbunuh. Separuh lebih, adalah 367 orang meninggal alasannya adalah luka tembakan.
  • Pada tahun 1984, 107 orang dinyatakan tewas dan hilang. Sekitar 15 orang tewas ditembak, sedangkan sisanya dibunuh dengan cara yang bermacam-macam.
  • Pada tahun 1985, tercatat 74 orang meninggal dan tidak diketahui sebabnya. Sekitar 28 orang dibunuh dengan cara ditembak.




Meskipun saat itu keadaan keamanan menjadi lebih baik sebab maling-maling menjadi takut ketika melakukan aksinya, kondisi demokrasi menjadi makin menurun.





Hal ini lantaran para aktivis takut dicap sebagai kriminal ketika melancarkan unjuk rasa atau kritik, sehingga mampu saja ditembak kapanpun oleh penembak misterius ini.





 



Penculikan Aktivis 1997/1998





Saat masa orde baru, banyak aktivis dan mahasiswa yang diculik dan dihilangkan




Pada tahun 1997 dan 1998, Indonesia mengalami pergolakan yang cukup andal di banyak sekali lapisan penduduk . Saat itu, kekecewaan kepada pemerintah membuat banyak aktivis kian vokal menyuarakan penolakan terhadap pemerintah.





Seiring dengan kritik mahasiswa yang kian keras kepada pemerintah, pihak penguasa pun memutar nalar untuk menghemat kritik-kritik tersebut. Salah satunya adalah dengan mengamankan dan menangkap orang-orang yang dianggap selaku provokator.





Keadaan menjadi makin memanas menjelang pemilu 1997 dan sidang MPR 1998. Retorika yang dikeluarkan oleh mahasiswa dan para aktivis kian membara terhadap pemerintah. Keadaan yang kian genting ini berbuntut penghilangan orang secara paksa.





Harapannya yaitu, massa pencetus dan mahasiswa akan kehilangan semangat dan takut untuk bersuara saat teman-temannya dihilangkan. Sebanyak 23 penggerak hilang pada kurun tersebut. Sembilan diantara mereka dilepaskan kembali, satu korban didapatkan tewas, dan 13 korban hilang, yang lain tidak pernah kembali sampai kini.





Penculikan yang dijalankan oleh pegawapemerintah negara ini terjadi di aneka macam daerah, beberapa diantaranya yakni Solo, Lampung, dan paling banyak di Jakarta.





Banyak yang menduga bahwa para penggerak diinterogasi kemudian dibunuh dan dibuang di tempat-kawasan terpencil semoga tidak mampu ditemukan. Ada yang menduga bahwa mereka dimasukkan kedalam tong minyak dan diisi oleh beton, lalu dibuang di tengah maritim. Ada pula yang berasumsi bahwa jasad mereka dibuang di hutan agar dikonsumsi oleh hewan buas.





 



Pembantaian Santa Cruz





Pembantaian Santa Cruz merupakan salah satu kasus HAM di Indonesia




Pembantaian Santa Cruz terjadi di Dili, Timor Timur, pada tanggal 12 November 1991. Sekarang, timor timur telah bermetamorfosis negara independen yakni Timor Leste.





Tragedi ini diawali dengan planning kehadiran anggota parlemen Portugal dan 12 wartawan ke Timor Timur. Akan namun, pemerintah Indonesia keberatan dengan kedatangan salah satu perwakilan wartawan yang berkebangsaan Australia sebab wartawan ini dicurigai mendukung kemerdekaan Timor Leste.





Saat itu memang Australia sungguh mendukung kemerdekaan Timor Leste. Hal ini disangka disebabkan oleh cadangan minyak yang sangat besar di perairan Timor. Timor Leste juga dapat menjadi zona buffer jika nanti di periode depan, terjadi pertentangan antara Indonesia dengan Australia.





Menanggapi hal ini, pemerintah Indonesia pun membatalkan kunjungan tersebut dengan dalih adanya wartawan yang berat sebelah. Mahasiswa yang mengetahui pembatalan ini pun merasa sangat kecewa.





Buntut kekecewaan ini adalah terjadinya konfrontasi antara pihak pro integrasi dan pihak pro kemerdekaan pada tanggal 28 Oktober 1991 di gereja Motael Dili. Konfrontasi ini menyebabkan dua orang tewas, Sebastiao Gomes dari pro kemerdekaan dan Afonso Henriques dari pro integrasi.





Mahasiswa menjadi kian murka, mereka pun menyelenggarakan agresi protes ketika proses pemakaman Gomes. Dalam melancarkan protes ini, banyak mahasiswa yang melaksanakan kerusuhan dan mengusik ketertiban sipil.





Banyak juga yang menyerang tentara yang menjaga pemakaman. Tidak terima provokasi ini, tentara pun mulai memukuli dan menyuruh pendemo untuk bubar. Sayangnya, undangan ini tidak digubris dan malah menambah anarkisme dari mahasiswa yang memang telah sakit hati dengan sikap tentara.





Akhirnya, tentara Indonesia melepaskan tembakan-tembakan ke arah kerumunan pendemo tersebut. Akibat serangan ini, 271 orang tewas, 250 orang menghilang, dan sekitar 382 orang terluka.





Peristiwa ini juga sukses direkam oleh jurnalis Australia dan Amerika ialah Stahl, Goodman, dan Allan Nairn. Dokumenter ini menjadi suatu senjata untuk mempermalukan Indonesia di kancah Internasional dan mendukung kemerdekaan Timor.





Pembantaian Santa Cruz ini juga menjadi salah satu pendorong kemerdekaan Timor, sebab sekarang, mereka didukung oleh komunitas Internasional.





Itulah beberapa perkara-perkara HAM yang pernah terjadi di Indonesia dan masih belum diusut tuntas hingga kini. Lambannya pihak aturan nasional menggarap perkara tersebut, kemungkinan besar alasannya adanya campur tangan banyak pihak yang berkuasa.







Sumber ty.com


EmoticonEmoticon